Sabtu, 29 Oktober 2011
KELUARGA
Program KB (Keluarga Berencana) merupakan salah satu bentuk program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, yaitu dengan cara mengatur perkawinan, mengatur kapan harus punya anak, mengatur jarak kelahiran, dan mengatur jumlah anak yang ideal dalam suatu keluarga. Sebagai contoh, akan mudah mendidik dan mengasuh 2 orang anak daripada 7 – 10 orang anak dengan kondisi ekonomi yang pas pasan.
Kalau kita amati tayangan berita di media massa, khususnya televisi dan surat kabar, maka daerah-daerah kumuh, perkampungan miskin, daerah terpencil, tempat pengungsian, didominasi oleh anak-anak non produktif. Jumlah angka pengangguran pun setiap tahunnya semakin meningkat. Coba kita bayangkan seorang PNS dengan gaji 2 juta sebulan. sementara isteri tidak bekerja dan menanggung 4 orang anak yang sedang sekolah. Pengeluaran untuk dapur, bensin sepeda motor, uang belanja anak-anak, SPP tiap bulan, listrik, air, telepon, HP dan lain-lain tampaknya jauh dari cukup. Lalu bagaimana dengan kehidupan seorang petani dan nelayan dengan penghasilan yang sangat minim dengan jumlah anak 3 – 8 orang. Bagaimana dengan pendidikan, kesehatan, dan masa depan anak-anak mereka.
Di negara-negara yang sudah maju, kesadaran akan pentingnya keluarga kecil bahagia, sehat, dan sejahtera merupakan hal yang sangat mendasar. Oleh sebab itu di Cina misalnya ada Undang-Undang yang mengatur bahwa setiap keluarga hanya boleh memiliki satu orang anak, dan apabila lebih akan mendapat sangsi yang berat. Di Amerika dan Australia banyak pasangan tidak resmi(kumpul kebo) yang belum berani menikah karena belum memiliki pekerjaan tetap. Pasangan yang telah menikahpun banyak yang tidak berani memiliki anak karena alasan tidak mau repot dengan pekerjaan dan karena belum memiliki pekerjaan tetap yang bisa menjamin ekonomi rumah tangga. Berbeda daripada keluarga-keluarga di Indonesia. Banyak pasangan yang sudah memiliki 1-3 anak namun belum memiliki pekerjaan tetap dan oleh karenanya masih “menyusui” pada orang tua mereka. Kasus seperti ini mungkin ada hubungannya dengan prinsip keluarga orang Jawa: “Makan Tidak Makan Yang Penting Ngumpul”
Saya pikir masih belum terlambat bagi kita semua untuk membentuk keluarga kecil bahagia, sehat dan sejahtera. Program KB bukan hanya untuk Pegawai Negeri dan orang kaya, tetapi untuk seluruh anggota masyarakat dengan tidak memandang latar belakang suku, agama, kelompok, dan tingkat sosialnya. Kita tidak cukup hanya mengharapkan program pengentasan kemiskinan dari pemerintah saja, tetapi seluruh masyarakat harus berpartisipasi secara aktif ikut mengentaskan kemiskinan dengan salah satu caranya adalah mengikuti Program Keluarga Berencana. Di samping itu, tokoh agama dan tokoh masyarakat/adat serta pihak Perguruan Tinggi perlu ditingkatkan partisipasinya dalam mendukung kegiatan pemerintah melalui kegiatan penyuluhan, sarasehan, kegiatan seni dan budaya, serta melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya Keluarga Berencana harus dilakukan secara terus menerus dan dengan berbagai pendekatan sosial seperti memberikan contoh/tauladan melalui diri kita sendiri, visualisasi/film tentang keluarga miskin dan keluarga bahagia dalam hubungannya dengan program KB, penyuluhan tentang beberapa keuntungan secara sosial dan ekonomi dari Program KB, serta penelitian untuk menggali berbagai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat untuk menunjang program KB. Misalnya, ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki kearifan lokal untuk mengatur jarak kelahiran, untuk menghentikan kehamilan, dan untuk membantu proses kelahiran agar tidak merasa sakit serta perawatan paska melahirkan seperti untuk mengecilkan perut dan merawat kelamin perempuan dan lain-lain.
Memang masih banyak tantangan dalam penerapan Program KB ini. Salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan(formal) masyarakat kita di daerah pedesaan/pedalaman. Mindset mereka umumnya telah dibentuk oleh norma-norma agama dan nilai-nilai budaya yang mereka anggap sebagai sesuatu hal yang absolut, dan oleh karenanya Program KB pun mereka anggap bertentangan dengan norma agama dan nilai budaya yang mereka miliki. Tantangan seperti ini bisa dipecahkan melalui berbagai pendekatan sosial budaya. Misalnya menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai tokoh agama dan tokoh adat serta perguruan tinggi. Laju pertumbuhan penduduk kita harus ditekan dan bersamaan dengan itu tingkat kesejahtaraan keluarga harus ditingkatkan secara adil dan merata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar