Kritik dari para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat terhadap kebijakan Ujian Nasional sudah terus menerus diperdengarkan selama empat tahun belakangan ini. Namun, pemerintah tetap saja tidak mau mendengar. Padahal, kebijakan tersebut sudah jelas melanggar prinsip-prinsip pedalogi, menyimpang dari amanat undang-undang dan mengorbankan anak-anak didik.
Upaya dialog dengan pemerintah sudah pula diupayakan. Pendekatan kritik yang akademis dan konstruktif juga pernah dilakukan. Namun, semuanya tetap sia-sia. Pemerintah seolah-olah tidak mau tahu bahwa kebijakan publiknya ini sangat bermasalah. Alih-alih memperbaiki sistem pendidikan nasional yang mendorong pemenuhan dan perlindungan hak anak atas pendidikan, pemerintah justru mengerahkan segala daya dan upaya untuk meredam gejolak yang terjadi akibat kebijakannya. Ujian Nasional pun tetap diberlakukan oleh pemerintah dan menjadi penentu kelulusan. Melihat kenyataan itu, banyak kalangan sependapat bahwa publik pendidikan, terutama anak-anak didik ( baik yang lulus maupun yang tidak lulus ), pada dasarnya telah menjadi korban dari kebijakan tersebut. Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan pedalogi, paradigma kebijakan pendidikan dan yuridis yang sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh bangsa ini dalam UUD, pada akhirnya hanya akan menjadikan murid dan guru sebagai kelinci percobaan semata.
Dalam konteks kontroversi Ujian Nasional ( UN ) tampak jelas bagaimana pemerintah telah memosisikan murid yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedalogis UN dapat menghambat proses berfikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ).
Diyakini, gagasan UN mencuat dari endapan keprihatinan atas kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan kita yang buruk. Namun, ketika “nilai dikatrol” diindentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya mutu pendidikan adalah keliru. Penalaran non causa pro causa ( bukan sebab dikira sebab ) seperti itu akan menuntun solusi yang kurang jitu.
Bila mengutip perkataan salah seorang pakar pendidikan, Winarno Surakhman, “ Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan dan menindonesiakan anak bangsa malah menghasilkan sebaliknya, di situ terjadi kriminalisasi pendidikan “. Beliau hanya mengingatkan bahwa tanpa falsafah tersebut, pendidikan hanya akan menjadi peristiwa tanpa makna dan pendidikan semacam itu, menurut Antarina SF Amir, hanya akan menghasilkan generasi yang hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar